Lanjut ke konten

Pendidikan Murah ? Memang nDobos !

21 Juni 2007

“Pendidikan Murah ? Ah …nDobos !” Demikian judul salah salah satu artikel harian Kompas edisi 5 Agustus 2004. Artikel tersebut banyak mendapat tanggapan pembaca, yang sebagian besar menyetujui isinya. Karena, de facto, memang banyak anak-anak dari keluarga miskin tidak mampu melanjutkan sekolah, termasuk ke sekolah-sekolah negeri.
Tahun kemarin, salah seorang anak tetangga saya kemarin tidak berhasil memasuki salah satu SMP negeri di kota saya, sebuah kota kecil di salah satu kecamatan, karena tidak mampu membayar uang pangkal. Yang dimaksud uang pangkal meliputi uang seragam, uang bangunan, uang buku, uang SPP, uang sabuk dan lain-lain yang jumlahnya mencapai Rp.700.000,-  Rupiah sebesar itu sulit didapat oleh Mas Waras, yang tidak punya pekerjaan tetap. Karena itu, Mas Waras mencoba mengajukan keringanan kepada pihak sekolah.
“Ini sekolahan Pak. Bukan pasar. Kok pakai tawar menawar segala. Kalau gak mampu sekolah di sini, sekolahkan saja anak sampean ke SMP Islam sebelah. Di sana sekolahnya gratis kok,” jawab petugas ketus.
Akhirnya, dengan terpaksa, Agus, putera Mas Waras, harus bersekolah di SMP Islam. Meski Danun-nya cukup untuk bisa masuk ke SMP negeri tersebut, tapi ia harus merelakan bangku jatahnya diberikan anak lain yang secara finansial lebih mampu, meski pun Danun-nya di bawah Agus.
Fenomena seperti itu sekarang sering kita temui. Sekolah-sekolah negeri yang mestinya diperuntukkan bagi anak bangsa yang kurang beruntung secara finansial, justru dipenuhi oleh anak-anak dari keluarga berduit. Meski prestasi akademiknya tinggi, tapi jika kocek orangtuanya kempes, jangan bermimpi bisa duduk di bangku sekolah negeri. Lebih beruntung anak-anak dengan prestasi akademik pas-pasan tetapi kocek orang tuanya tebal. Kelompok ini lebih leluasa memilih sekolah. Uang lebih menjadi penentu dibanding prestasi akademik dalam memperoleh sekolah.
Tahun ajaran baru seringkali berarti pertarungan orangtua menyediakan uang untuk biaya pendidikan anaknya.  Tidak saja bagi yang akan memasuki sekolah baru, juga bagi orangtua yang anaknya naik ke kelas yang lebih tinggi. Minimal mereka harus menyediakan sejumlah dana untuk daftar ulang dan pembelian buku-buku baru. Belum lagi ditambah dengan dana untuk berbagai kegiatan. Semuanya dapat membuat orang-orang senasib Mas Waras kalang kabut, bahkan frustasi.
Meski pemerintah telah mengeluarkan larangan bagi sekolah menarik biaya daftar ulang dan berjualan buku, tapi masih banyak sekolah-sekolah, tidak terkecuali sekolah negeri, yang menarik daftar ulang dan berjualan buku. Untuk tingkat SMP, biasanya daftar ulang berkisar antara Rp 100.000,- sampai Rp200.000,- Memang, istilah yang digunakan bukan lagi biaya daftar ulang. Tetapi, jumlah uang tersebut harus dibayar sebelum tahun ajaran baru dimulai. Jika tidak  mampu membayar, jangan harap akan memperoleh bangku di kelas berikutnya.
Sedangkan untuk buku-buku pelajaran, memang bukan guru-gurunya yang menjual kepada siswa. Tetapi melalui koperasi sekolah, yang notabene milik guru-guru, yang menjadi penjual buku. Meski pemerintah juga telah menghimbau sekolah-sekolah untuk tidak mengganti buku-buku pelajaran setiap tahun supaya buku-buku tersebut dapat digunakan adik kelasnya, tetapi himbauan tersebut tidak pernah digubris. Sekolah-sekolah tetap mengharuskan murid-muridnya untuk membeli buku-buku pelajaran baru setiap ganti tahun. Buku-buku tahun sebelumnya sudah tidak bisa digunakan.
Untuk tingkat SMP, orangtua harus mengeluarkan kocek antara Rp.350.000,- hingga Rp 450.000,- untuk membeli buku-buku baru. Belum lagi jika anak-anaknya sudah menginjak kelas tiga. Selain harus menyiapkan dana untuk pembelian buku ini, mereka harus membayar biaya untuk les-les tambahan yang diadakan oleh sekolah. Sebagai persiapan menghadapi UAN, demikian dalih sekolah.
Untungnya ada sekolah-sekolah swasta seperti SMP Islam di atas, yang dengan dana BOS mampu membebaskan murid-murid membayar SPP. SMP negeri tetangganya, yang sebelum ada BOS memungut SPP sebesar Rp.30.000,-/ bulan, sama dengan SMP Islam ini. Tetapi begitu ada BOS, buru-buru menaikkan SPP-nya menjadi Rp.50.000,-/ bulan. Sehingga, meski ada BOS, orangtua harus tetap membayar SPP setiap bulan.
Dalam hal pengadaan buku pelajaran, pengelola SMP Islam juga lebih bernurani. Sekolah tersebut mewajibkan guru-gurunya membuat buku-buku pelajaran sendiri, sehingga biayanya jauh lebih murah dibanding buku-buku cetakan penerbit. Sebagai perbandingan, buku matematika produk penerbit harganya Rp.25.000,- SMP Islam menjual buku matematika produk sendiri dengan harga Rp.6.500,- Sehingga, siswa hanya mengeluarkan uang tidak lebih dari Rp.100.000,- untuk buku semua pelajaran. Menjadi pertanyaan kita semua, mengapa tidak banyak sekolah yang mau membuat buku-buku pelajaran sendiri seperti SMP Islam ini ?

Menggugat Manfaat Peningkatan Anggaran Dana Pendidikan
Sebenarnya kita patut bersyukur dengan niat baik pemerintah meningkatkan mata anggaran untuk pendidikan, baik dalam APBN mau pun APBD. Namun sayang, penggunaan dana yang meningkat tertsebut tidak diperuntukkan bagi Mas Waras dan kawan-kawannya yang menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah seperti SMP Islam di atas. Bukan rahasia lagi, dana pendidikan dari pemerintah sebagian besar untuk membiayai proyek-proyek yang diusulkan oleh sekolah-sekolah negeri yang fasilitasnya jauh lebih lengkap dibanding SMP Islam tersebut. Artinya, dana pendidikan pemerintah tersebut lebih diperuntukkan bagi anak-anak orang berduit ketimbang untuk anak-anak seperti anaknya Mas Waras.
Yang lebih memilukan lagi, dana pendidikan di atas juga untuk menambah sekolah-sekolah negeri baru. Dengan bertambahnya sekolah-sekolah negeri baru mengakibatkan sekolah-sekolah semacam SMP Islam di atas kesulitan mencari murid baru. Akibat pembangunan sekolah-sekolah negeri baru yang sangat agresif menjadikan sekolah-sekolah seperti SMP Islam itu akan kehabisan murid. Kalau keadaan ini terus berlanjut, pasti sekolah-sekolah seperti SMP Islam akan tutup.  Jika ini terjadi, harus sekolah kemana anak orang-orang seperti Mas Waras ?
                        
                              
 

                        
                              
 

5 Komentar leave one →
  1. 23 Juni 2007 4:14 pm

    Saat ini mengharap pendidikan murah ibarat sipungguk merindukan bulan. Banyak janji-janji gombal yang diobral petinggi negeri ini,kelak jika saya menjadi anu maka SPP akan digratiskan, subsidi pendidikan akan ditambah. Kenyataannya nihil belaka, Mereka lebih mengutamakan nafsu daripada nurani. Nafsu untuk memperkaya dengan yang namanya KKN memang sudah membudaya dinegeri ini. Lalu bagaimana nasib anak bangsa yang kurang beruntung itu, untuk dapat mempunyai hak sama dengan yang berduit. Apakah pemerintah sudah lupa dengan UUD 45 tentang pasal yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak. Apakah ini hanya sebuah retorika belaka ? Perlu kita renungkan dan pikirkan bersama. Apakah kita sudah siap menghadapi jaman globalisasi, jika pendidikan kita belum mampu mencetak tenaga-tenaga yang handal. Mau dibawa kemana Negara dan Bangsa ini ?

  2. 2 Juli 2007 4:59 am

    Di era globalisasi yang seharusnya semua hal bisa didapat secara mudah, murah dan cepat namun kenyataan tidak berlaku bagi dunia peniikan. Sudah menjadi rahasia umum kalau pendidikan di Indonesia sangatlah mahal. Padahal di luar negeri sudah banyak yang mengratiskan biaya peniikan untuk warganya. Kenapa Indonesia belum bisa seperti mereka?
    Memang negara kita adalah negara yang sedang berkembang apalagi setelah krisis moneter yang menghantam perekonomian Indonesia, namun bagaimana pendiikan bisa maju kalo sistem pembelajarannya cenderung selalu berubah- ubah bahkan murid, guru dan orang tuapun dibuat bingung dengan seringnya sistem pembelajaran berubah dan tentu saja berakibat dengan biaya yang semakin besar untuk pengadaan buku materi sesuai dengan sistemnya. Apalagi jika sekolah memanfaatkannya sehingga terkesan mereka berjualan buku.
    Tidak hanya sampai disitu kebingungan yang harus dierita para ortu.Kegembiraan saat sang anak lulus UNAS yang terkadang disertai dengan hura-hura yang dilakukan oleh sang anak, ternyata hanya sekejap mata. Karena didepan mata menghadang permasalahan baru yaitu mau kemana selanjutnya sang anak harus sekolah. Seperti anak pak Waras, Danun yang tinggi tidak serta merta membuat anak dengan mudah diterima di sekolah negeri aplagi yang nota bene-nya sekolah favorit. Sekolah negeri lebih murah? Itu hanya masa lalu,di jaman sekarang persaingan ketat sebelum masuk ke sekolah disusul kemudian dengan biaya yang tetek bengek yang menyertainya mulai dari biaya daftar ulang, seragam,buku sampai dengan biaya pembangunan yang menjerat leher orang- orang semacam pak Waras.Sekolah tidak mau tahu yang penting mereka bisa memanfaatkan nama yang sudah disandangnya untuk bisa meraup keuntungan yang sebesar- besarnya.Bagi yang tak mampu silahkan minggir.Sekolah favorit ternyata tidak mencari oarang- orang yang berotak encer,namun mencari siapa yang bisa memberi santunan lebih banyak itulah yang menang.
    Dana BOS yang digembor- gemborkan oleh pemerintah ternyata tak berjalan sesuai dengan rencana. Justru dengan dana BOS memicu sekolah- sekolah untuk menarik perhatian para siswa dengan membangun sekolah semegah mungkin, bagaimana nasib sekolah yang terpinggir?Bagaimana nasib anak-anak yang pintar namun secara finansial tak menunjangnya?
    Perlu kita renungkan akan dibawa kemana nasib bangsa ini? Orang berotak cemerlang tersisih karena tak punya uang,sementara orany yang berduit meskipun tak pintar tetap melaju ke sekolah- sekolah bahkan sampai keluar negeri dan pada akhirnya mereka inilah yang bertitel yang pada akhirnya akan menjadi pemimpin dan pengatur bangsa ini meskipun sebenarnya gak ada ilmunya, sementara orang orang yang pinter hanya menjadi penonton karena tak punya kuasa sebagai akibat dari terkendalanya cita-cita mereka karena biaya pendiikan yang sangat mahaaaal.
    Melihat fenomena tersebut, haruslah pemerintah membuka mata dan banyak hal yang bisa dilakukan untuk mulai membenahi pendidikan di Indonesia agar semua lapisan masyarakt bisa sekolah dengan biaya terjangkau dan pada akhirnya Indonesia menjadi negara yang maju karena semua masyarakatnya mengenyam pendiikan yang cukup.Banyak hal yang bisa dilakukan antara lain:
    1. Meneruskan program pemerintah 9 tahun wajib belajar dengan membenahi sistem pembelajaran menjadi lebih baik, terprogram dan terarah bukan hanya mempunyai sistem pembelajaran sebagai uji coba belaka.
    2. Menyalurkan dana BOS secara benar dan menyeluruh sehingga menutup akses sekolah- sekolah untuk melakukan pungutan- pungutan liar yang hanya berdampak semakin merananya rakyat kecil yang biaya hidupnya pas- pasan.
    3. Meningkatkan kesejahteraan para guru sehingga guru lebih terfokus untuk memintarkan anak didiknya sehingga menghasilkan lulusan- lulusan yang berkualitas.
    4. Memebrikan pelatihan secara kontinyu terhadap guru- guru di seluruh Indonesia sehingga mempunyai kualitas dan kuantitas yang sama dalam memberikan ilmu untuk anak didiknya, sehingga tidak terjadi ketimpangan antar sekolah yang menyebabkan murid lebih memilih sekolah yang nota benenya favorit.
    5. Melakukan pengawasan yang menyeluruh bagi dalam sistem pembelajaran, maupun operasional sekolah sehingga semua kebijakan yang iambil dapat terlaksan dan mencapai tujuan yang diinginkan.

  3. 13 Maret 2009 11:05 am

    oke juga nih… thank’s ya mas..!

  4. kukuh budiharso permalink
    9 Juli 2011 3:07 am

    betul 200% ngapusi…. salam kenal http://budiharso.wordpress.com

  5. 11 Juli 2011 7:19 pm

    Trim’s atas kunjungannya Mas Kukuh. Salam kenal juga buat Anda dan keluarga.

Tinggalkan Balasan ke Rohadi Wicaksono Batalkan balasan