Lanjut ke konten

Busrin Divonis Penjara Tahun Dan Denda 2 Miliar

24 November 2014

Laki-laki miskin berusia 58 tahun itu bernama Busrin. Dia warga Desa Pesisir, Kecamatan sumberasih, Probolinggo, Jatim. LelBusrinaki yang tidak tamat SD itu merupakan tulang punggung keluarga.

Busrin yang berprofesi sebagai kuli pasir dan buruh tani itu kini menjadi perbincangan ramai semenjak website MA memberitakan kasusnya. Pengadilan Negeri Kota Probolinggo menjatuhkan vonis 2 tahun penjara dan denda 2 miliar terhadap suami Susilowati ( 58 ) itu.Vonis seberat itu dijatuhkan oleh majelis hakim yg terdiri dari Putu Agus Wiranata, Maria Anita, dan Hapsari Retno Widowulan. Sidang tsb digelar pada 22 Oktober 2014 lalu.

Vonis ini dijatuhkan pada lelaki malang itu karena majelis hakim berpendapat bahwa Busrin telah melanggar pasal 35 huruf e, f dan g UU nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pasir dan Pulau-pulau Terluar. Majelis hakin menyatakan sama sekali tidak melihat alasan memaafkan terdakwa, dan juga tidak ada alasan yg dapat membenarkan perbuatan terdakwa.

Vonis 2 tahun penjara dan denda 2 miliar itu memang merupakan vonis teringan, sebagaimana disampaikan Pejabat Humas Pengadilan Negeri Kota Probolinggo, Putu Agus Wiranata. Tetapi, meski hukuman tsb mrp vonis minimal, tak ayal, kasus ini telah menjadi perbincangan ramai, khususnya di dunia maya. Publik menilai, kasus ini dianggap telah mencederai rasa keadilan terhadap masyarakat kecil.

Hakim sama sekali tidak mampu ( mau ? ) melihat hal apa pun yang dapat meringankan terdakwa. Menurut Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan ( KIARA ), Hakim sama sekali tidak mau tahu bahwa banyak warga pesisir, termasuk Busrin, yang terpaksa mencari kayu bakar karena tergencet kemiskinan akibat kebijakan alih fungsi hutan yang dilegalkan. Reklamasi ini menyebabkan mata pencaharian warga semakin ciut akibat lahan melaut semakin sempit. Penduduk pesisir yang menjadi nelayan akhirnya banyak yang menjadi pengangguran, jadi pemulung dan bekerja serabutan.

Selain itu, mestinya hakim juga melihat apakah UU yang dapat membahayakan kehidupan warga miskin tersebut sudah disosialisasikan dg baik kepada masyarakat ? Kalau belum pernah disosialisasikan, apakah ketidaktahuan terdakwa atas pelanggaran tsb tidak bisa menjadi pertimbangan hakim ? Bahkan, menurut salah seorang kontributor salah satu tv swasta yg mengangkat kasus ini, di sekitar hutan mangrove itu tidak ditemukan tulisan yang melarang penebangan kayu di hutan tsb. Dan, sepertinya banyak hal lain yang dapat dilihat oleh hakim.

Tapi mengapa majelis hakim tidak berminat melihat hal-hal yang dapat meringankan terdakwa, kita tidak tahu. Mungkin saja negara sedang ingin menegakkan supremasi hukum dan keadilan kepada khalayak. Hukum itu harus pakai kaca mata kuda. Sayangnya itu untuk Busrin, bukan bagi mafia2 raksasa yang jelas-jelas melakukan perusakan laut dan pantai kita

No comments yet

Tinggalkan komentar