Lanjut ke konten

RUWETNYA MERUMUSKAN KODE ETIK PROFESI GURU

11 Juni 2007

 Salah satu program kerja 100 hari Mendiknas Bambang Sudibyo adalah pencanangan “Guru Sebagai Profesi”. Hal itu beliau ungkapkan pada 2 Desember 2004, bersamaan dengan peringatan Hari Guru Nasional. Sebagai suatu profesi, guru memerlukan kode etik. Naskah kode etik itu, saat pencanangan tersebut tengah digodok.
 Draf kode etik guru tersebut selain diambil dari kode etik yang sudah dimiliki PGRI dan memperoleh masukan dari para profesor doktor bidang pendidikan, juga dengan membandingkan kode etik yang dimiliki oleh profesi lain. Artinya, secara prosedural penyusunan draf kode etik guru itu sudah sesuai mekanisme kerja yang benar. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa draf itu dapat dikatakan final dan layak untuk disahkan menjadi kode etik guru  ( Darmaningtyas,Kompas, 13 Desember 2004 ).
 Namun, hingga saat ini tampaknya penyusunan draft tersebut belum kelaar juga. Padahal pengesahannya sangat ditunggu banyak pihak, khususnya masyarakat pengguna jasa layanan pendidikan dan, tentunya, para guru itu sendiri. Bagi masyarakat, dengan adanya kode etik guru, mereka akan memperoleh pelayanan pendidikan yang lebih professional dari para guru. Karena, dalam kode etik tersebut akan diatur persyaratan keahlian minimal yang harus dimiliki profesi tersebut. Selain itu, kode etik merupakan janji dari sebuah profesi untuk memberi pelayanan yang optimal kepada masyarakat Dengan demikian mereka tidak perlu merasa khawatir lagi putra-putri mereka  dididik guru-guru yang tidak layak dan asal-asalan.
 Selain itu, masyarakat tidak perlu merasa khawatir lagi menjadi bola permainan beberapa guru seperti sering terjadi selama ini. Meski pemerintah sudah mengeluarkan larangan bagi guru-guru untuk berjualan buku kepada murid-muridnya, namun dengan berbagai dalih dan cara, mereka tetap saja memaksa murid-murid membeli buku yang mereka tunjuk, yang merupakan hasil kerjasamanya dengan penerbit tertentu. Murid tidak diberi kesempatan untuk menggunakan buku lain, sehingga seolah ilmu dari buku tersebut saja yang paling bermutu. Dan untuk mempertahankan pangsa pasarnya pada tahun berikutnya, maka buku-buku tersebut sudah tidak bisa dipakai oleh kelas berikutnya.
 Model ‘pemerasan lainnya’ guru membuka les privat bagi murid-muridnya, meski hal ini juga sudah ada larangannya. Namun, karena para orang tua takut kalau terjadi apa-apa pada anaknya jika tidak mengikuti les tersebut, maka dengan terpaksa mengikutkan anaknya les tersebut.
 Dengan adanya kode etik guru, maka akan ada majelis kehormatan yang akan mengawal pelaksanaan kode etik tersebut. Jika ada guru yang melanggar kode etiknya, maka dewan kehormatan ini yang akan memberi sangsi kepada guru yang melanggar.
 Dari pihak guru sendiri, pengakuan bahwa pekerjaan guru merupakan sebuah profesi akan memiliki beberapa arti. Pertama, dengan diakui sebagai sebuah profesi tentu akan meningkatkan salary mereka, sehingga mereka tidak perlu mencari obyekan lain untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya. Dengan demikian mereka lebih memiliki waktu dan biaya untuk pengembangan keahliannya. Kedua, pengakuan tadi juga akan meningkatkan prestise pekerjaan guru. Bukankah selama ini pekerjaan guru dianggap sebagai pekerjaan yang tidak terlalu membanggakan. Sehingga, lulusan SLTA yang berprestasi merasa malas untuk melanjutkan ke Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Dengan salary yang memadai dan prestise yang baik, diasumsikan akan mendorong anak-anak muda dengan prestasi akademik yang bagus bersedia menerjuni pekerjaan menjadi guru.

Mungkinkah Kode Etik Guru Bisa Fungsional ?
 Bisa jadi pertanyaan di atas terlalu skeptis. Tapi marilah kita simak fakta yang ada. Barangkali untuk meningkatkan salary guru pada taraf yang dianggap memadai tidak terlalu menjadi masalah. Bukankah ke depan pemerintah akan meningkatkan anggaran untuk dunia pendidikan hingga 20% dari total APBN ?
 Barangkali yang akan menjadi dilema adalah tuntutan akan keahlian sebagai satu profesi. Kualitas guru di Indonesia dari beberapa kajian masih dipertanyakan, seperti yang dilaporkan oleh Bahrul Hayat dan Umar (dalam Adiningsih,: 2002). Mereka memperlihatkan nilai rata-rata nasional tes calon guru PNS di SD, SLTP, SLTA, dan SMK tahun 1998/1999 untuk bidang studi matematika hanya 27,67 dari interval 0-100, artinya hanya menguasai 27,67% dari materi yang seharusnya. Hal serupa juga terjadi pada bidang studi yang lain, seperti fisika (27,35), biologi (44,96), kimia (43,55), dan bahasa Inggris (37,57). Nilai-nilai di atas tentu jauh dari batas ideal, yaitu minimum 75% sehingga seorang guru bisa mengajar dengan baik. Hasil lain yang lebih memprihatinkan adalah penelitian dari Konsorsium Ilmu Pendidikan (2000) memperlihatkan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya. Paparan ini menggambarkan sekilas kualitas guru di Indonesia, bagimana dapat dikatakan profesional jika penguasaan materi matapelajaran yang diampu masih kurang, dan bagaimana dikatakan profesional jika masih ada 33% guru yang mengajar diluar bidang keahliahanya. Seperti yang diungkap oleh Geist (2002) bahwa Professionals are specialists and experts inside their fields; their expertise is not intended to be necessarily transferable to other areas, consequently they claim no especial wisdom or sagacity outside their specialties. ( Agung Haryono,” TANTANGAN PROFESIONALISME GURU EKONOMI DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI”, Jurnal Ekofeum online)
 Bisa saja sebelum sanksi diberlakukan bagi guru-guru yang keahliannya tidak memenuhi standard minimal, mereka diberi waktu untuk meng upgrade diri selama sekian waktu. Tapi perlu diingat, seperti dijelaskan di atas, bahwa dengan gaji yang sekarang ini, banyak guru harus mencari obyekan lain untuk menutupi kebutuhan keluarganya. Apalagi kalau dilihat guru-guru sekolah swasta, salary-nya masih banyak yang di bawah UMR, masuk akalkah untuk meminta mereka meng upgrade diri ?
 Andai saja dengan ada mukjizat tertentu sehingga membuat pemerintahan SBY mampu menaikkan salary para guru, baik negeri maupun swasta, sampai tingkat memadai, tetapi tetap saja harapan  supaya guru-guru yang ada saat ini meng upgrade diri sampai memiliki keahlian yang memadai juga masih sebagai utopia. Bukankah raw material yang menjadi input LPTK selama ini sebagian besar adalah para lulusan yang bisa dibilang second grade ?
 Lalu kalau standard keahlian yang dipersyaratkan untuk profesi guru tidak tercapai, apakah majelis kehormatan yang akan dibentuk nanti memecati guru-guru yang dianggap tidak memenuhi standard keahlian ?
 Jadi jelas pencanangan “Guru Sebagai Profesi” merupakan kebijakan yang gegabah dari Mendiknas. Barangkali akan lebih realistis jika kebijakan peningkatan mutu guru dimulai dengan meningkatkan salary para guru sesuai dengan kemampuan pemerintah. Setelah itu, perlu dilakukan pelatihan-pelatihan yang lebih intensif dan dengan metode yang lebih baik saehingga membuat guru-guru termotivasi untuk mengembangkan dirinya. Berikutnya, diadakan percepatan usia pensiun untuk guru. Kalau sekarang usia pensiun guru adalah 60 tahun, barangkali bisa dimajukan menjadi 55 tahun. Dengan begitu, akan memberi kesempatan tenaga-tenaga baru untuk terjun di bidang pendidikan, tentu dengan  ini harus dipilih tenaga-tenaga yang memang memiliki keahlian yang memadai.
 Last but not least, dalam proses recruitment harus dibersihkan dari unsur-unsur suap menyuap. Menurut Darmaningtyas dalam artikelnya di atas menyebutkann bahwa proses perekrutan guru calon pegawai negeri sipil (CPNS) tahun 2004 ini diwarnai dengan suap Rp 20 juta-Rp 75 juta? Menurut hemat penulis, kalau mau membuat program 100 hari yang monumental, realistis, dan jelas indikatornya, hal itu dapat dilakukan dengan mencegah penerimaan guru CPNS dengan menggunakan uang suap sedikit pun. ( Darmaningtyas,Kompas, 13 Desember 2004 ).
 Dengan pemberantasan korupsi saat proses rekruitmen tenaga guru, akan di dapat calon-calon guru yang lebih berkualitas. Guru pun lebih bermartabat karena menjadi guru berkat kemampuannya, bukan karena menyuap pihak lain.
*******
 
 

8 Komentar leave one →
  1. GRECY permalink
    26 Maret 2008 1:53 am

    kode etik adalah sesuatu yang penting untuk tiap profesi apapun itu. namun, yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana kita, dan komponen yang terlibat didalam profesi itu bisa melakukan fungsi dan tugasnya masing-masing. tidak terkecuali sikap dan tingkah laku orang-orang yang berada dan berkaitan dengan profesi itu. dan masih ada yang penting lagi yaitu kemauan kita untuk menjadikan suatu profesi itu tidak hanya sebagai karir hidup akan tetapi sebagai suatu pengabdian kepada masyarakat.

  2. 28 April 2008 7:43 am

    Kalo kode etik diatas dilanggar kira-kira sangsi apa ya yang didapatkan??? dicap mal praktekkah ??? kalo gitu kayaknya masih banyak yang mal praktek dech ….

  3. 28 April 2008 6:29 pm

    Terima kasih atas komentar Grecy dan Windar.
    Salah satu tujuan dibuatnya kode etik bagi sebuah profesi adalah untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap profesi tersebut. Dengan kode etik, profesional dalam profesi tersebut hendak menyatakan bahwa pekerjaan mereka berlandaskan etika dan aturan-aturan yang baik, dalam arti tidak merugikan masyarakat umum. Karena itu, ketika ada pelanggaran etika yang dilakukan oleh salah anggota profesi yang bersangkutan, maka majelis kode etiknya akan memberikan sangsi. Adapaun sangsinya bergantung pada kesepakatan para profesional di dalamnya.

  4. dadan wahyudin permalink
    28 Juli 2008 2:36 am

    kode etik diperlukan agar guru bukan orang serampangan, tapi bermutu, cerdas, menjiwai profesinya dan bukan dermaga terakhir bagi orang yang tidak bisa bersaing dalam dunia kerja.

  5. 28 Juli 2008 3:29 am

    Setuju. Memang dengan menyatakan diri sebagai kaum profesional, maka syarat-syarat profesionalitas harus dipenuhi oleh para anggota dari profesi tersebut ( profesi guru ). Persoalannya, bagaimana dengan guru-guru yang sekarang ada ?

    Mas Dadan W. terimakasih atas comment-nya.

  6. 29 Oktober 2008 2:15 pm

    apa sih makna yang sebenarnya kode etik guru???
    kenapa saat ini yang kita liha kode etik itu hanyaalah sebua aturan yang di tulis kan saja,,,nyatanya banyak guru melanngar …
    dimana ada kode eti pasti ada anggsinya. loh ko tidak kelihatan sangsi yang di berikan pada guru,,?

  7. 17 Maret 2009 5:50 am

    lha wong guru sebagai profesi aja masih dalam masa transisi loh mas…jadi ngga kayak membalik telapak tangan…perlu proses yang, saya yakin, panjang.
    Mari kite hargai usaha pemerintah untuk memperbaiki image guru, dari pilihan terakhir menjadi pilihan pertama anak-anak Indonesia dalam menentukan cita-cita. Dari keterpaksaan menjadi kebanggaan. Tentuna membutuhkan waktu dan proses yang tidak sekejap.
    Saya optimis……kita bisa mencapai itu… guru profesional…!!!

  8. Anonim permalink
    29 April 2012 7:32 am

    apa sih manfaat kode etik bagi guru…????

Tinggalkan komentar